IBU SEHARGA 200 JUTA UNTUK ANAK-ANAKKU

Pov Fatih

Aku tidak tahu wanita seperti apa yang saat ini tidur di ranjang denganku. Sifa, wanita berpakaian minim yang menjajakan keperawanan di hotelku, ternyata aslinya dia berhijab. Dengan alasan ingin melunasi hutang Bapaknya dia nekat ingin mengorbankan dirinya sendiri. Sungguh pemikiran yang sangat pendek.

Bersama Ibu, Fanno dan Auryn aku datang ke rumah Sifa, untuk melamarnya. Memenuhi keinginan Ibu yang mengancam tidak akan rutin memeriksakan kesehatan lagi kalau aku tidak segera menikah.

“Maaf sebelumnya, sejak kapan Nak Fatih berhubungan dekat dengan Sifa? Kok ibu tidak pernah tahu, ya,” tanya ibunya Sifa, aku maklum akan pertanyaan itu, kami belum pernah bertemu. Tetapi aku juga tidak mungkin jujur kalau perkenalanku dengan Sifa adalah ketika dia mencoba menjual keperawanannya di hotelku.

“Sifa pernah bekerja di salah satu hotelku, Bu. Aku sudah lama tertarik, cuma dia telalu fokus bekerja, tidak ada waktu untuk menerima cintaku. Sekarang, aku berani melamar karena dia setuju untuk aku nikahi.” Kebohongan yang aku harap tidak menimbulkan kecurigaan, dan Sifa terbebas dari rasa bersalahnya karena sempat terjerumus kelubang dosa.

“Tolong jaga kak Sifa, Mas. Dia adalah matahari kami,” pinta salah satu adik Sifa, memohon.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum menjawabnya, tiga pasang mata menatapku penuh harap akan kebahagiaan Sifa. Orang yang sangat mereka sayangi.

Pernikahan sederhana dengan hanya saudara terdekat yang menjadi tamu undangan, sudah mengesahkan kami menjadi sepasang suami istri. Maskawin uang lima ratus juta, serta tunjangan sepuluh juta setiap bulan untuk keluarganya, dirasa cukup untuk tugas barunya saat ini yaitu sebagai ibu tiri bagi Fanno dan Auryn.

Mungkin jalanku menikahi Sifa akan melukai hatinya, tidak adil bagi masa depannya. Karena hingga saat ini aku masih sangat mencintai Liana, wanita pertama yang membuatku bertekuk lutut akan cintanya, yang memberiku kebahagiaan begitu besar. Sangat sulit bagiku untuk bisa menyentuh wanita lain selain Liana. Cinta sejatiku.

***

“Saya terima nikah dan kawinnya Liana Atmaja dengan maskawin seperangkat berlian di bayar tunai,” tegas dan jelas aku mengucapkan ikrar janji suciku terhadap Liana. Berpacaran semenjak kami masih SMP, hingga akhirnya kami memutuskan menikah untuk menghindari zina. Yah, hubungan kami yang begitu dekat tidak mengelakan godaan syetan selalu berbisik agar kami berbuat melebihi batas berpacaran.

Kebahagiaan berlanjut, ketika pagi itu Liana keluar dari kamar mandi dengan sedikit menekuk wajahnya.

“Ada apa, Sayang?” tanyaku yang paling tidak bisa melihat dia bersedih.

“Mas, mungkin beberapa bulan lagi kasih sayangku akan terbagi, tidak hanya untukmu,” jawabnya lirih.

“Apa maksud kamu? Apa ada pria lain yang sedang berusaha mendekatimu? Katakan siapa, Li? Akan aku bunuh dia sekarang juga” murkaku, tidak tahan mendengar kalau dia akan berbagi cinta.

Melihatku yang sedang di penuhi nafsu, Liana malah terkekeh.

“Li?” aku bingung.

Tangan Liana terpegang benda pipih kecil, kemudian ia berikan padaku. Sebuah tespack dengan dua garis merah terlihat sangat jelas.

“Kamu hamil?” lirihku, mataku berkaca penuh haru bahagia.

Langsung ku peluk tubuh mungilnya yang akan segera membuncit mengandung anakku. Buah cinta kami.

Sembilan bulan menanti seorang bayi laki-laki terlahir, Fanno. Pelengkap kebahagiaanku dan Liana. Tidak ada yang melebihi ini, seakan kebahagiaan dunia sudah kami miliki. Sungguh sempurnaan hidupku.

Dua tahun usia Fanno, Liana mengalami

ngidam lagi. Kebahagiaan kami bertambah dengan kabar gembira ini. Fanno kecil yang lincah, ngidam Liana yang aneh-aneh membuat suasana rumah ceria penuh tawa kelucuaan.

Namun, baru saja berusia delapan bulan kehamilan Liana, ia mengalami pendarahan hebat hingga jalan operasi cesar harus segera diambil.

Bayi perempuan terlahir, tetapi nyawa Liana tidak bisa tertolong. Seketika langit runtuh, aku seperti kehilangan alasan untuk bernafas. Belahan jiwaku harus pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku hancur.

Sejak saat itu aku tidak pernah ikut mengurus Auryn sang bayi. Karena setiap melihatnya aku akan semakin merindukan Liana. Apalagi beranjak remaja, wajah Auryn kian mirip dengan ibunya. Liana, maafkan aku yang belum bisa melupakanmu dan melampiaskan kekecewaaku atas kepergianmu kepada anak kita, Auryn. Aku sangat menyayanginya, tetapi aku juga belum bisa menerimanya. Maaf.

***

Tangan Sifa tiba-tiba mendarat di atas perutku, bantal guling yang menjadi pembatas sudah berada di bawah kaki. Lamunanku akan Liana buyar, aku menoleh menatapi wajah Sifa yang terlelap. Cantik.

Sifa semakin menempelkan tubuhnya ke pinggangku, membuat naluri kelelakianku muncul. Ini pertama kalinya setelah tujuh belas tahun kepergian Liana, aku berdekatan dengan wanita. Segera aku mengangkat tangan Sifa agar terlepas dariku. Beranjak dari ranjang, aku melanjutkan tidur di sofa.

Bukannya aku munafik, menyia-ngiakan wanita yang jelas sudah halal untuk aku sentuh, tetapi rasanya sulit untuk menjamahnya berdasarkan cinta, seandainya malam ini aku berhasil menyetubuhinya, sudah pasti itu hanya nafsu sesaatku. Bukan cinta. Karena cintaku saat ini hanya untuk Liana.

“Maafkan aku, Fa. Membuatmu masuk keduniaku hanya sebagai ibu tiri, bukan istri. Semoga kamu mengerti,” lirihku sebelum mata ini benar-benar terpejam.